SD Katolik Santa Maria - Kisah Pejuang Pendidikan 4 Zaman

Perkembangan pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah-sekolah Katolik pada dasarnya sejalan dengan perkembangan gereja setempat. Oleh karena itu, keberadaan SDK Santa Maria yang kini telah berusia 90 tahun pun tidak lepas dari sejarah perkembangan umat Katolik setempat.

Buku Sejarah Keuskupan Surabaya yang disusun oleh romo Drs. JVS Tondowijoyo CM selaku Executive-secretary Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Surabaya per 1 September 1983 lalu menyebutkan bahwa di Paroki St. Yusuf Blitar pada tahun 1927, baru mempunyai 7 orang Indonesia yang beragama Katolik, semuanya berasal dari Jawa Tengah. Umat Katolik lainnya adalah bangsa Belanda. Pada waktu itu di Blitar sudah ada sekolah Katolik yang berumur satu tahun dan berlokasi di jalan Diponegoro 36, yaitu HIS Yohanes Gabriel.

Pada tahunyang sama, para suster Misi Abdi Roh Kudus (S.Sp.S) berdatangan dan bertugas membantu misi di Blitar. Disusul pada tahun yang sama, romo HV Megen datang melayani Tuhan, khususnya untuk orang-orang Indonesia lantaran beliau mahir bahasa Jawa. Para suster ini mengembangkan pendidikan Europee Lagere School (ELS) di jalan Pahlawan dengan Sr. Theresia sebagai kepala sekolah. Selain giat dalam dunia pendidikan, para guru juga sibuk dengan kunjungan ke rumah-rumah untuk tugas kerasulan.

Pendirian ini atas restu Yayasan Yoseph Surabaya yang semula bernama STICHTING di bawah kongregasi suster-suster Misi Abdi Roh Kudus (S.Sp.S). Berdasarkan tujuan Anggaran Dasar Yayasan itu, para suster melakukan tindakan amal berupa pendidikan dan kesehatan. Maka mereka mendirikan SDK Santa Maria Blitar tepatnya pada tanggal 1 Agustus 1927. Pendirian ini berkenaan awal tahun palajaran pada waktu itu.

Bersamaan itu pula, para suster membangun pula gedung SD yang memanjang dari timur ke barat dengan jumlah 9 lokal (ruangan) yang terdiri dari 6 ruang kelas, 1 ruang tatausaha, 1 ruang kepala sekolah dan 1 ruang di ujung paling timur yang semula teras dan dikhususkan sebagai ruang perpustakaan dan gudang.

Sebenarnya, pada tahun yang sama ini, para suster dari kongregasi ini juga membeli sebuah sekolah HCSP (Hollands Chineese School Partikulir) yang berada di jalan Melati, tepatnya di Lapangan Tenis Melati sekarang ini. Dari namanya saja, sekolah dasar ini dikhususkan pendidikan anak-anak Cina. Kemudian sekolah ini dipindah lokasinya oleh beberapa suster pengelola sekolah seperti suster Bonsia, Berti dan suster-suster lainnya dari jalan Melati ke jalan TGP, tepatnya di pabrik rokok Bokor Mas. Setelah itu, sekolah yang diberi nama HCSP Sint Yoseph, hingga memasuki periode 1940-an sempat pindah ketiga kalinya kembali di jalan Melati, tepatnya digudang beras, sebelah timur SLTPN II Blitar (dulunya HCS negeri).

Sementara itu, SDK Santa Maria ini sejak berdiri sudah mewujudkan persatuan dengan menerima atau membaurkan siswa dari mana saja, tanpa membedakan warna kulit, suku hingga agama, pribumi ataupun golongan kelas elit. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah dengan melakukan diskriminasi mengenai sekolah. Siswa dari Belanda dan Eropa harus memasuki ELS, kaum Asia Timur memasuki HCS dan pribumi harus sekolah SR maupun HIS.

Memasuki era penjajahan Jepang di Indonesia yang berkisar pada tahun 1942-1945, sekolah yang dikelola para suster ini langsung bubar. Seluruh suster maupun beberapa guru yang sebagian besar berasal dari Belanda dan Eropa langsung diinternir (diasingkan; dipenjarakan). Saat itu, lokasi interniran ini antara lain kompleks SLTPN 3, 5, 6, 7 dan 11 hingga SMUK Diponegoro. Bukan hanya itu gedung sekolah inipun dipakai sebagai markas bersama gedung SLTPN 7 dan 3 dulu, apalagi TMP Raden Wijaya dulunya sebagai lapangan latihan tentara PETA.

Tak pelak ditinggal pengelolanya, sekolah langsung macet. Bahkan segala administrasi sekolah ini menjadi kacau berantakan. Akibatnya, data sekolah sejak tahun 1927 hingga memasuki tahun 1945 sangatlah minim dan sebagian besar telah raib.

Sesaat setelah Indonesia merdeka, para suster kembali menggiatkan karya amal dengan membuka kembali SDK Santa Maria, sekitar tahun 1945. Muridnya bukan hanya murid baru yang mendaftar, namun juga beberapa murid sebelum tahun 1942. Kegiatan belajar mengajar ini mulai lancar seperti semula. Sayangnya, kegiatan pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun. Pada tahun ajaran baru, sekolah ini harus tutup kembali, lantaran adanya perang agresi, sejak akhir tahun 1946 hingga awal 1947. Semasa itu, SDK Santa Maria sempat menjadi markas tentara Indonesia untuk melawan tentara NICA yang dibonceng Belanda yang memasuki Indonesia.

Sekolah ini akhirnya benar-benar berfungsi sebagai lembaga pendidikan, saat dimulainya tahun ajaran baru pada tahun 1947. Bertindak sebagai kepala sekolah adalah Sr. Maginta. Seluruh kegiatan belajar dan segala seluk-beluk administrasinya mulai dibenahi kembali. Boleh jadi angkatan tahun 1947 ini terkadang disebut sebagai sekolah peralihan.

Dia mengingat kelas II saat itu hanya satu kelas dengan jumlah murid sekitar 15 anak. Jumlah murid kelas lainnya kuranglebih sama jumlahnya. Namun anehnya, jumlah murid ini semakin tahun semakin meningkat, sehingga murid angkatan kelas II pada tahun 1951/1952 yang sudah mencapai kelas V menjadi sekitar 45 anak, Termasuk di dalamnya romo B. Martokusumo CM yang masuk kelas V, pindahan dari SR Rejotangan.

Selain mengembangkan SDK, para suster ini juga mengembangkan pendidikan Taman Kanak-kanak berkisar sejak tahun 1947/1948 hingga 1950/1951. Saat itu, lokasi Taman Kanak-kanak Katolik (TKK) Santa Maria berada di belakang biara susteran, tepatnya beberapa ruang dapur biara itu. Sebagai pengajar antara lain Suster Bonosia, Berti, Bertholdia dan lainnya. Belakangan TKK ini akhirnya berkembang cepat, sehingga bisa dibangun gedung TKK yang berjumlah 4 ruangan belajar di lokasi sekarang ini. Pembangunan ini selesai bersamaan dengan terbitnya Akte Perijinan TKK pada tahun 1958.

Semasa Presidan RI pertama Ir. Soekarno berkuasa, SDK Santa Maria terus mengembangkan diri seperti membangun berbagai fasilitas seperti belasan kelas yang berada di halaman belakang sekolah, seperti ujung timur dan belakang. Bahkan sedemikian banyaknya lokal, akhirnya Sr. Berti memanfaatkan beberapa kelas seperti 4 lokal di ujung timur serta 4 lokal lainnya, serta sebuah ruang kantor untuk pendirian SMPK Yohanes Gabriel II, yang dikhususkan untuk pelajar putri, sekitar tahun 1953/1954. Sedangkan SMPK Yohanes Gabriel I dikhususkan sebagai sekolah lanjutan pertama khusus pria. Kelas-kelas yang dipakai SMPK Yohanes Gabriel II ini selama hampir 20 tahun akhirnya ditarik kembali oleh SDK Santa Maria, lantaran kebutuhan yang mendesak pada periode 70-an.

Bukan hanya sarana fisik, namun kualitas pendidikan sangat diutamakan dalam mengasah anak sejak dini. Penanaman kedisiplinan yang sangat kental serta pengajaran ketat membuat sejak tahun 1950-an, sekolah swasta ini selalu diperhitungkan di kota Blitar. Sekolah Dasar ini juga dikenal sebagai sekolah bermutu dan menjadi acuan pendidikan dasar di kota kecil ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan setiap pengumuman ujian akhir sekolah, nilai para murid sekolah ini selalu ditanyakan warga masyarakat sebagai perbandingan. Bukan hanya itu, sekolah ini selalu berprestasi baik bidang olahraga dan lebih-lebih lagi bidang kesenian setiap tahunnya. Hal ini berlanjut hingga saat ini.

Pendidikan ketat ini dilakukan para suster dengan menempatkan beberapa suster yang langsung memimpin sekolah ini sejak era Sr. Magita S.Sp.S (dikenal sebagai Moeder, kemudian Sr. Bertholdia S.Sp.S dan dilanjutkan Sr. Seraphin S.Sp.S. Setelah itu, ada satu guru yang dipercaya sebagai kepala sekolah yaitu Ibu R Ng Roberta Hardjo Soedarso. Beliau menjadi kepala sekolah sejak tahun 1968 berlangsung hingga 1 April 1971. Kemudian kepala sekolah diserahkan kepada Suster Paularita S.Sp.S.

Memasuki era 70-an hingga 80-an, sangat diakui atau tidak perkembangan sekolah ini sangat menonjol. Baik prestasi akademis maupun bidang-bidang keterampilan lainnya. Hal ini tidak luput dengan gaya kepemimpinan Sr. Paularita S.Sp.S dan dilanjutkan Sr Yustina S.Sp.S yang mempunyai sikap lebih terbuka lagi kritis, siap diajak berdiskusi dengan siapapun. Mulailah adanya kegiatan ekstrakurikuler lainnya seperti drumband, olahraga beladiri, grup angklung, kader UKS, pertanian dan seabrek kegiatan lainnya. Oleh karena itu, sekolah ini semakin mempunyai daya tarik tersendiri bagi para calon orangtua siswa.

Tak pelak, kelas-kelas di sekolah ini menjadi gemuk, setiap kelas bisa mempunyai sekitar 60 murid, sehingga sekolah bisa mempunyai murid lebih dari 700 anak bahkan mencapai 800 anak. Kalau dulunya setiap kelas hanya mempunyai 1 kelas paralel, kini setiap kelas mempunyai 2 kelas paralel yaitu adanya kelas c, yaitu kelas a, b dan c. Hal ini memaksa pemanfaatan bekas kelas yang dipakai SMPK Yohanes Gabriel II. Boleh dikatakan saat itu sebagai era keemasan SDK Santa Maria Blitar.

Seiring dengan berjalannya waktu, kelas-kelas gemuk ini akhirnya dibubarkan lagi dan hanya ada kelas a dan b saja. “Tidak bisa dipungkiri keberhasilan KB menekan angka kelahiran juga berpengaruh selain bermunculan sekolah swasta lainnya pada pertengahan 90-an.” Ujar Sr. Maria Yustina S.Sp.S, mantan kepala sekolah yang setelah itu menjabat sebagai pimpinan Yayasan Santo Yoseph di Blitar.

Walau demikian, pihak sekolah yang kemudian dipimpin Ibu Theresia Soemihari dan dilanjutkan Ibu RM Soepijah hingga kini terus berupaya untuk meningkatkan kualitas anak didiknya dengan membekali pelbagai pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal hidup masa mendatang, seperti pelajaran wajib komputer maupun bahasa asing seperti bahasa Inggris. Belum lagi keterampilan lainnya seperti pelajaran musik, menggambar dan sebagainya.

Pendidikan bukanlah pengajaran yang semata-mata memberikan ilmu pengetahuan belaka, namun juga membina, mengasah serta mengasuh anak menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang bukan hanya unggul dan bermutu, namun juga beriman dan berbudi pekerti, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, cintakasih kepada sesama dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan visi SDK Santa Maria ini.

Kini SD Katolik Santa Maria yang telah berusia 80 tahun masih terus berkiprah ikut mengasuh anak bangsa ini hingga tanpa henti. Oleh karena itu, butuh keseriusan mereka yang terlibat atau setidak-tidaknya pernah bersentuhan dengan sekolah ini yaitu para guru pendidik, siswa, wali murid hingga alumninya. Kiprah sekolah ini sangat tergantung mereka dan bukannya kepada rumput, cemara maupun mahoni yang hidup dan melestari di SD Katolik Santa Maria.

Comments

Popular posts from this blog

Pembagian Kelas Baru Tahun Pelajaran 2012-2013

Daftar Siswa Tahun Pelajaran 2018-2019

Daftar Siswa Kelas Tahun Pelajaran 2015/2016